Pages

Selasa, 22 April 2014

Pengolahan dan Pemanfaatan Tanaman Multiguna Sagu (bahan Sinonggi) oleh Masyarakat Tolaki dan Bugis Provinsi Sultra

Pengolahan dan Pemanfaatan Tanaman Multiguna Sagu (bahan Sinonggi) oleh Masyarakat Tolaki dan Bugis Provinsi Sultra

Sagu di daerah penyangga TNRAW
Sagu di daerah penyangga TNRAW
Dahulu sebagian masyarakat menganggap pohon sagu sebagai tumbuhan kutukan. Dimanapun sagu itu tumbuh dengan lebat, disitu pula bermukim masyarakat tertinggal yang umumnya miskin. Logika ini tidak sepenuhnya salah sebab sagu merupakan tumbuhan yang memiliki persebaran yang cukup luas dan dahulu kala memiliki kelimpahan yang sangat tinggi. Kala itu, mereka tidak perlu menanam untuk mendapatkan makanan sehari-hari. Mereka cukup menebang sagu dari alam di sekitar kampungnya, memakan sebagian dan menyimpan sisanya. Selama berhari-hari mereka dapat hidup tanpa bekerja dengan mengkonsumsi sagu yang mereka simpan itu. Setelah persediaan menipis, baru mereka datang kembali ke hutan untuk mengambil sagu. Demikian seterusnya sehingga wajarlah apabila sebagian masyarakat di masa lalu menganggap sagu sebagai salah satu faktor dibalik penyakit malas kerja dan ketertinggalan di daerahnya.  
Klasifikasi Tumbuhan
Dalam sistem klasifikasi tumbuhan, sagu (Metroxylon sagu) masuk dalam family Palmae, Kelas Monocotyl, Sub Divisi Angiospermae dan Divisi Spermathophyta (Anthophyta). Pohon ini memiliki sebaran yang cukup luas, dapat dijumpai di berbagai daerah di Indonesia. Dijumpai di lima pulau besar (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua) dan tumbuh juga di pulau-pulau kecil lainnya. Sagu tumbuh liar di beberapa kawasan di TNRAW. Flora ini dikenal luas terutama disebabkan karena dari batangnya diperoleh pati sagu sebagai makanan pokok penduduk terutama yang tinggal di Papua dan Kepulauan Maluku.
Morfologi dan Fisiologi
Sagu muda
Sagu muda
Pohon sagu memiliki batang silindris mirip pohon kelapa, tetapi ukuran diameter batangnya cukup besar sehingga apabila telah dewasa batangnya tidak terpeluk oleh manusia. Secara keseluruhan, pohon sagu lebih terlihat sebagai palem yang gemuk dengan daun-daun yang besar memanjang. Pembentukan batang terjadi pada umur 3 tahun dan pada umur 15-20 tahun sagu mencapai puncak pertumbuhannya sehingga dapat segera dipanen. Dengan perawatan yang baik, pohon ini bisa dipanen dalam waktu yang lebih singkat sekitar 10-12 tahun. Dibawah umur itu pati yang dihasilkan belum maksimum. Flora ini tidak memiliki duri, daun-daunnya panjang menyirip, ujungnya meruncing dan dapat melukai.
Pemanfaatan Sagu oleh Masyarakat Tolaki dan Bugisdi Sekitar TNRAW
Masyarakat Tolaki di sekitar TNRAW pada umumnya memanfaatkan sagu sebagai bahan makanan pokok sebagai substitusi beras. Mereka menamai hasil olahan sagu ini dengan sebutan “sinonggi”. Makanan yang cukup populer di Sulawesi Tenggara ini biasa disajikan pada acara-acara khusus, seperti pertemuan PKK, rapat RT maupun acara-acara keluarga. Lebih dari itu, sebagian masyarakat penyangga TNRAW (Tolaki dan Bugis) menyimpan tepung sagu sebagai cadangan makanan apabila persediaan beras menipis. Sinonggi sebagai makanan khas Sulawesi Tenggara juga tersedia di beberapa rumah makan Kota Kendari yang sangat diminati oleh para wisatawan dan warga pendatang di kota yang sedang berkembang pesat ini.
Pemanenan Sagu
Pohon sagu tidak terlalu sulit untuk dikenali karena ukurannya yang besar dan membentuk satu rumpun. Apabila letak rumpun ini telah diketahui, dilakukan pemilihan pohon-pohon yang sekiranya telah cukup dewasa. Orang-orang biasanya memperkirakan pohon sagu mulai masak jika pelepah-pelepahnya telah berwarna keputih-putihan. Untuk mengetahui apakah sagu itu benar-benar telah masak maka batang sagu dilukai dan bagian dalamnya diambil sedikit untuk melihat kandungan patinya. Apabila batang telah terisi penuh dengan gumbar putih seperti sponsa yang telah masak, maka segera dilakukan pemanenan. Jika belum masak dilakukan penutupan luka dengan lumpur.
Cara memanennya adalah dengan menebang batang pohon sagu di dekat akar kemudian dipenggal-penggal menjadi potongan-potongan. Potongan batang sagu ini harus dijaga tetap basah karena apabila batang ini mengering akan menyulitkan pengerjaan selanjutnya. Pati yang diperoleh juga relative lebih sedikit dibanding batang segar yang basah. Batang sagu dibelah dan bagian dalam batang itu dihancurkan dengan alat pemarut dari papan yang dipasangi paku. Hasil parutan berupa serpihan-serpihan gumbal seperti serbuk gergaji. Serpihan ini lalu diremas-remas sambil disiram air. Proses ini dikerjakan di atas bangunan kecil mirip gubuk beratap daun sagu yang dibuat di pinggir sungai. Tempat peneduh ini bukan hanya untuk melindungi orang yang memeras sagu, tetapi juga dapat menjaga kelembaban gumbal yang diolah. Setelah disiram, aliran pati keruh hasil perasan itu ditampung oleh wadah dan diendapkan. Setelah ditiriskan tersisalah pati sagu mentah yang siap diolah menjadi berbagai makanan. Ampas gumbal juga bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti makanan ternak atau dapat pula digunakan sebagai media untuk budidaya jamur.
Proses pengolahan sagu ini biasanya dilakukan di dekat muara air, terutama air tawar namun tak jarang pula pengolahan dilakukan di daerah pantai. Sebagian masyarakat Desa Tatangge Kecamatan Tinanggea biasa mengolah sagu di daerah rawa-rawa sedangkan masyarakat desa penyangga TNRAW lainnya mengolah sagunya di pinggir sungai.
Pemurnian Sagu
Masyarakat di sekitar TNRAW biasa menyimpan sebagian sagu sebagai cadangan bahan makanan pokok. Sagu ini dapat bertahan cukup lama mencapai 2-3 bulan asalkan dijaga pada kondisi tidak terlalu kering. Butiran-butiran sagu hasil perasan pertama masih kasar. Untuk mendapatkan butiran sagu yang lebih halus maka dilakukan pemurnian. Caranya dengan memasukkan sagu kasar ke dalam kantong lalu disiram air. Di dalam kantong itu, sagu diremas-remas lagi dan dilakukan pemerasan menggunakan wadah kantong itu. Pori-pori kantong secara otomatis akan menyaring cairan pati halus keluar dari kantong dan yang tersisa di dalam kantong adalah ampas pati yang kasar. Hasil saringan ini ditampung dengan wadah dan dilakukan penyaringan kedua. Setelah itu baru diendapkan kembali. Setelah ditiriskan, diperoleh sagu murni yang siap diolah menjadi makanan, roti atau disimpan sebagai persediaan. Tak jarang sagu murni ini dijual di pasar tradisional dan bahan makanan ini ternyata sangat diminati oleh para penggemar “sinonggi”.
Pemanfaatan Daun Sagu
Sampai saat ini, pemanfaatan daun sagu masih sangat terbatas. Masyarakat sekitar TNRAW menggunakan daun sagu sebagai atap rumah, terutama rumah-rumah gubuk yang dibangun di persawahan atau tegalan. Daun sagu diambil dari pohon yang sudah dewasa. Daun-daun ini disusun saling berhimpitan dalam posisi sejajar satu dengan lainnya. Pada kedua sisinya dihimpit dua batang kayu yang dihubungkan oleh paku yang menancap di permukaannya. Agar daun-daun tidak tercerai, dapat pula digunakan jahitan dengan menggunakan tali bambu atau rotan sebagai alat pengikat.
Daun sagu juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat tikar. Proses pengolahannya mirip dengan Agel (Corypha utan). Meskipun masyarakat daerah penyangga lebih familiar dengan daun Agel, penggunaan daun sagu ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Daun sagu bisa berfungsi sebagai pensubstitusi daun agel untuk membuat berbagai bahan kerajinan rakyat.

http://tnrawku.wordpress.com/2012/04/01/pengolahan-dan-pemanfaatan-tanaman-multiguna-sagu-bahan-sinonggi-oleh-masyarakat-tolaki-dan-bugis-provinsi-sultra/

0 komentar:

Posting Komentar